Permatahatiku ke-1 Mushilatunir Rahma
Permata hatiku yang pertama perempuan muncul ke dunia Rabu 27 Juli 1994, pukul 15.30 di klinik bersalin el Tauhid, district Hay 7 Nasr City Cairo. Tanggal lahir sama dengan tanggal lahir ibunya, istriku tercinta Rahima Sikumbang, tentu mereka bangga punya tanggal lahir yang sama, sebagaimana aku bangga mungkin lebih karena aku bapaknya, terima kasih istriku yang telaten dan sabar.
Ia lahir berat badan 3,1 kg panjang 51 cm diberi nama Mushilatunirrahma, gabungan kata bahasa Arab dari suku kata "Mushilatun" berarti penghubung dan "arrahma" berarti kasih sayang. Mushilatunirrahma berarti penghubung/penyambung kasih sayang, setidaknya itulah yang terbayang dalam benakku ketika memilihkan nama untuknya.
Hari itu aku bahagia dan terharu sebagaimana aku ketika menerima report hasil test kehamilan dari dokter yang mengatakan istriku positif hamil. Memang jauh sebelum pernikahan kami, aku sudah utarakan kepada ibunya ketika itu masih sebagai calon istri "kalau tuhan menginzinkan saya ingin secepatnya punya anak" ujarku yang ketika itu ku lihat calon istri diam dan tertunduk, mudah-mudahan diam itu pertanda setuju, hatiku berkata. Di satu sisi, dari keinginanku ini, terlihat aku ini egois tak melihat istri yang mungkin ketika itu ingin masa bulan madunya lebih lama, lebih mesra tanpa harus direpotkan oleh urusan kehamilan, urusan tetek dan rengek. Namun di sisi lain aku berfikir, bila saat bulan madu itu Allah memberi kita kurnia berupa sebuah titipan, suatu kepercayaan yang sekaligus akan menambah kuat hubungan kasih sayang kita, bukankan hal itu akan menambah manisnya bulan madu, menambah aromanya "Mawaddatan wa Rahmah" membuat kita lebih dewasa, lebih peka, tidak sensitif, buktikan sejauh mana komitmen kita bila diberi kepercayaan dan tanggung jawab.
Pada hari itu aku sujud syukur dan meneteskan airmata bahagia bercampur haru saat dokter mengangkat bayiku yang jelas kulihat di pelupuk mata, merah berlumuran darah, mungil, cantik, menurutku begitu, ia menangis, hatiku berkata itu suara anakku, aku bapaknya. Lalu kuciumi ibunya yang masih terkulai lemas setelah 1 jam lebih berjuang antara hidup dan mati dan ku belai rambutnya ku usap matanya dan kukatakan "selamat dan terima kasih sayang, anak kita sudah lahir, seorang perempuan". Aku salut atas kesabaran dan ketegaran istriku menahan sakit saat menjalani proses bersalin. Aku selalu di dekatnya membaca ayat-ayat al Quran menenangkan jiwanya dan juga jiwaku, berdo'a semoga proses persalinan berjalan cepat. Pada saat genting, setidaknya menurutku begitu karena sudah 1 jam lebih berusaha bayi belum juga lahir, mentalku down aku menangis dan mohon pertolongan Yang Maha Kuasa, justru istriku berkata "uda jangan menangis" lalu kukuatkan iman kutegarkan mental, Allah pasti memberi pertolongan, tak lama kemudian anakku lahir diiringi suara tangis, Al Hamdulillah, hatiku lega.
Ila, begitulah kami memanggilnya, seorang bayi perempuan cantik, manis, setelah dimandikan dokter dan dibalut kain diberikan kepadaku, dengan bangga dan bahagia aku gendong dan aku bisikkan di telinganya Allahu Akbar, aku iqamatkan sebagaimana layaknya bayi perempuan, lalu aku lihatkan ke ibunya yang masih terkulai lemas, istriku senang dan tersenyum bahagia, rasa sakit berkurang melihat seorang bayi yang dinanti-nantikan sekarang sudah berada didepan mata. Kami periksa kakinya, ku hitung jari kakinya masing-masing lima, normal kataku, lalu ku pegang tangannya dan ku hitung pula jari tangannya juga masing-masing lima jumlahnya, Al hamdulillah anakku lahir sempurna, saat ku usap-usap jarinya istriku berkata "jarinya mirip jari ibunya" berarti ada 2 kesamaan antara istri dan putri pertamaku, yaitu tanggal lahir dan bentuk jari jemari. Aku bangga tentulah perhatian ibunya akan semakin bertambah padanya.
Dari hari ke hari Ila berkembang cepat tak terasa. Pada 5 bulan pertama kelahirannya, aku masih belum punya pekerjaan tetap, tapi al hamdulillah masih ada simpanan dan kadang-kadang datang bantuan dari kampung. Keperluan putri kami adalah prioritas pertama. Ketika itu aku sudah selesai kuliah tapi istriku baru naik ke tingkat 4 tahun terakhir di Universitas Al Azhar Cairo. Otomatis pada jam kuliah ila bersamaku di rumah dan kadang-kadang ila aku bawa ke kuliah bersama ibunya. Memang jarang mahasiswa membawa anak ke kuliah, sehingga di kampus dikerubungi teman-teman kuliah ibu termasuk warga Mesir dan merekapun rebutan foto dengan anak kami...

0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home